Friday, June 12, 2020

PELUANG BISNIS ENERGI GEOTERMAL MENGHADAPI PASAR LISTRIK BARU DALAM SEKTOR TRANSPORTASI LISTRIK

Introduction
Tatanan tektonik di Indonesia menyebabkan negara ini memiliki potensi energi geothermal yang sangat besar. Energi geothermal ini dapat menjadi energy alternative dari energi konvensional lainnya. Energy panas bumi (geothermal) merupakan sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi (ESDM). Potensi panas bumi di Indonesia menjadi salah satu yang terbesar didunia, pada tahun 2018 tercatat memiliki potensi mencapai 28.5 Giga watt (GW) yang terdiri dari cadangan sebesar 17.5 GW dan sumber daya sebesar 11 GW serta kapasitas yang telah terpasang pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sebesar 1948.5 MW (ESDM).
Pemanfaatan energi geothermal ini selain untuk agroindustry, pemanas ruangan dan pariwisata utamanya digunakan sebagai pembangkit listrik. Pada data statistic PLN 2018, dalam 8 tahun terhitung dari 2010 energi yang diproduksi dari PLTP didominasi mengalami kenaikan. Dengan pencapaian terbesar di tahun 2015 sebesar 4.391,55 GWh. Pada arsip RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) sektor pembangkit listrik non-konvensional diproyeksikan sebagai penyumbang emisi terbesar sebelum sektor industri dan transportasi. Diperkirakan tahun 2050 total emisi GRK yang akan terbuang sebesar 1.950 juta ton CO2. Maka untuk mengatasi hal tersebut salah satu faktor penting untuk mengurangi emisi GRK dengan cara peningkatan porsi pemanfaatan energy terbarukan dan mengurangi porsi energy fosil.
Kehadiran transportasi listrik yang memanfaatkan energi listrik terutama yang dihasilkan dari EBT adalah salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan energi fosil. Hasil studi dan riset yang didorong oleh Kementerian Perindustrian pada November 2018 (Kem. Perindustrian), mobil listrik dapat menghemat 50 – 80% energy fosil. Langkah tersebut dapat menjadi langkah untuk menurunkan emisi CO2 serta menjadi peluang baik bagi EBT khusunya geothermal untuk menjadi pendominasi suplay permintaan energy listrik dari sektor transportasi listrik ini.

Aspect Setting

Terdapat beberapa sector energy yang menjadi penyuplai kebutuhan energy listrik nasional. Berdasarkan data produksi energy dalam statistic PLN tahun 2018 prosentase terbesar penghasil energy listrik yaitu dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang menggunakan bahan bakar batubara untuk menghasilkan uap sebesar 42,65%. Sedangkan dari sector geothermal hanya mampu memberikan kontribusi energy listrik nasional sebesar 1,5%. Hal ini disebabkan oleh keuntungan biaya eksplorasi dan produksi batubara yang lebih murah daripada energy geothermal. Selain itu jika dibandingkan biaya jual energy listrik batubara dan energy geothermal tidak berbeda jauh sehingga akan membuat kurang untungnya bagi pengelola energi geothermal.


Konsumen listrik nasional dalam Statistic PLN tahun 2018 menjelaskan bahwa konsumen listrik tertinggi di Indonesia dikonsumsi oleh rumah tangga yaitu sebesar 41,7%  disusul sector industry sebesar 32,8%, sector bisnis sebesar 18,77%, dan distribusi kepada pihak lainnya sebesar 6,75%, dengan total energy yang digunakan yaitu sebesar 234.617, 87 GWh. Prosentase kebutuhan energy listrik ini terus berubah seiring dengan komponen elektronik yang dipakai masyarakat di suatu negara. Saat ini muncul konsumen listrik baru dari sector transportasi yaitu akibat innovasi kendaraan yang sebelumnya berbahan bakar minyak menjadi menggunakan energi listrik sebagai penggerak mesinnya.
Kendaraan listik ini merupakan kendaraan yang  digerakkan oleh motor listrik dengan menggunakan energi listrik yang disimpan dalam baterai. Kendaraan ini tidak menghasilkan emisi layaknya kendaraan bermotor konvensional sehingga lebih ramah lingkungan. Melihat dari trend innovasi dari produsen kendaraan yang juga menguasai pasar kendaraan bermotor di Indonesia mereka telah mengembangkan  kendaraan listrik tersebut, berikut ini beberapa perusahaan yang telah mengembangkan kendaraan listrik yaitu Mitsubishi, Nissan, Mercedez-benz, Volvo  dan Tesla (Techno.id edisi 5 November 2015). Dengan bergesernya pemakaian energy bahan bakar fosil menuju energy listrik sebagai penggerak mobil listrik maka kedepannya kebutuhan listrik dari sektor transportasi akan semakin meningkat.

Result and Discussion
Dalam BBPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) Outlook Energi Indonesia 2018, kendaraan listrik akan mulai digunakan tahun 2025 sebanyak 56 ribu unit kendaraan listrik meningkat hingga tahun 2050 berkisar 5,6 juta kendaraan listrik. Sehingga setelah diperhitungkan total kenaikan listrik akan meningkat dari 11,5 GWh menjadi 9,14 TWh pada tahun 2050. Prospek penggunaan kendaraan listrik di Indonesia diproyeksikan cukup kondusif ke depan. PLN memproyeksi, pada 2025 akan ada kebutuhan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) sebanyak 4.200 (CNBC Indonesia edisi 24 April 2019). Melihat keadaan energy konvensional yang menipis mendesak pemanfaatan energy terbarukan sebagai energy utama dalam penyediaan energy listrik. Maka perkembangan yang akan terjadi beberapa periode kedepan mempengaruhi bauran kebutuhan energy listrik nasional sehingga dalam prosentasi ini geothermal dapat mengisi porsi yang mendominasi. 
Pemanfaatan energy geothermal yang memiliki dampak lebih baik berpeluang untuk mencukupi kebutuhan listrik akibat adanya penambahan permintaan listrik dari sector transportasi listrik, dibandingkan energy listrik yang dihasilkan bahan bakar fosil. Salah satu akibatnya menghasilkan emisi gas rumah kaca (CO2). Berbeda dengan pemanfaatan energy geothermal yang menghasilkan uap tanpa adanya kandungan kimia yang mencemari lingkungan. Selain itu potensi geothermal di Indonesia sangat besar dan menjadi salah satu yang terbesar didunia. Besar potensi geothermal mencapai 28.5 Giga watt (GW) yang terdiri dari cadangan sebesar 17.5 GW dan sumber daya sebesar 11 GW serta kapasitas yang telah terpasang pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sebesar 1948.5 MW (ESDM). Dengan pemanfaatan geothermal sebagai penyedia energy listrik sector transportasi akan memberikan dampak yang baik terhadap kemandirian dan ketahanan energy nasional. Karena kita bisa mencukupi kebutuhan energy tersebut tanpa harus impor sehingga perekonomian akan ikut tumbuh membaik.
Namun untuk mempersiapkan permintaan kebutuhan listrik tersebut dari pemanfaatan energy geothermal harus dioptimalkan karena terdapat beberapa masalah yang menghambat optimalisasi tersebut. Terdapat lima kendala pengembangan energi panas bumi, yaitu kendala eksplorasi, kendala konstruksi, kendala koordinasi dan regulasi, risiko finansial, dan risiko pasar (Setiawan, 2012).

Conclusion
       Potensi energy geothermal di Indonesia mencapai 28.5 Giga watt (GW) yang terdiri dari cadangan sebesar 17.5 GW dan sumber daya sebesar 11 GW serta kapasitas yang telah terpasang pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sebesar 1948.5 MW.  Kebutuhan listrik di Indonesia diperkirakan akan meningkat akibat adanya perubahan pola konsumsi listrik dari sector transportasi. Terjadinya perubahan dari sektor transportasi yang sebelumnya menggunakan  bahan bakar fosil berganti menjadi kendaraan menggunakan listrik sebagai energy penggerak. Peluang ini dapat diambil oleh sector energy dari panasbumi untuk mencukupi penambahan kebutuhan listrik ini. Hal yang menguatkan energy panas bumi untuk menambah porsi suplai energy listrik nasional termasuk peningkatan kebutuhan listrik akibat hadirnya kendaraan listrik dikarenakan potensi energy geothermal Indonesia yang besar. Selain itu penggunaan energy geothermal sebagai penyedia kebutuhan listrik menjadikan Indonesia semakin mandiri dalam energy, ketahanan energy nasional semakin baik, dan berkurangnya emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil.


References
CNBC Indonesia. 2019. PLN Prediksi Kebutuhan SPKLU 4200 Hingga 2025. https://www.cnbcindonesia.com/news/20190424122714-8-68536/pln-prediksi-kebutuhan-spklu-4200-hingga-2025. Diakses pada 24 April 2019
ESDM. 2018. Regulasi Bidang Panas Bumi. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi.
KEMENPERIN. 2018. Studi Mobil Listrik: Hemat Energi Hingga 80%. https://kemenperin.go.id/artikel/19877/ Studi-Mobil-Listrik:-Hemat-Energi-Hingga-80-Persen . Diakses pada 6 November 2018.
Liun, Edwaren. 2017. Dampak Peralihan Massal Transportasi Jalan Rayake Mobil Listrik. BATAN. Vol. 19 No.2
Pratama, Fendy. 2015. 5 Perusahaan Otomotif yang Produktif Mobil Listrik. https://www.techno.id/tech-news/5-perusahaan-otomotif-yang-produksi-mobil-listrik-1511059/nissan-3101.html. Diakses pada 5 November 2015
Sekterariat Perusahaan PT PLN (Persero). 2018. Statistika PLN 2018. PT PLN (Perusahaan Listrik Negara


Tuesday, June 2, 2020

VARIASI MEDAN MAGNET BUMI

Pada dasarnya pengukuran metode geofisika akan merespon dari segala sumber yang terbentuk baik secara alami ataupun sumber yang sudah ada. Medan magnet dapat dianalogikan sebagai suatu titik yang memiliki kuat medan magnet dengan radius yang sesuai dari intensitas magnetnya. Pengukuran metode magnetik merupakan pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui intensitas magnet dibawah permukaan dengan menggunakan alat sensor magnetik yaitu PPM (Proton Precisioun Magnetometer). Nilai yang didapatkan dari pengukuran merupakan hasil dari total medan magnet yang terekam. Tentu hal tersebut menyebabkan penentuan intensitas magnet anomali (sesuatu yang dicari) dengan medan magnet lainnya akan sulit untuk dibedakan. Maka dengan itu tujuan dari memahami variasi medan magnet bumi untuk mengetaui respon medan magnet mana saja yang akan terekam ketika saat pengukuran.

1. Variasi Sekuler


Variasi sekuler merupakan medan magnet yang bersumber dari bumi itu sendiri. Jika dianalogikan bumi merupakan batang magnet raksasa sebagai sumber utama medan magnet bumi. Flux manget bumi berasal dari kutub utara manet (kutub selatan khatulistiwa) menuju kutub selatan magnet (kutub utara khatulistiwa). Garis kutub magnet dengan kutub khatulistiwa tidak saling berhimpitan, dua garis tersebut membentuk sudut yang disebut sebagai sudut deklinasi. Seiring berjalannya waktu deklinasi ini akan berubah karena adanya proses geodinamo di dalam bumi yang merubah lokasi kutub magnet. Dapat terlihat pada gambar diatas dari tahun 1600 - 2010 kutub magnet mengalami perubahan beberapa kali.


Perubahan nilai kemagnetan tersebut dapat dibandingkan dari peta medan magnet bumi pada tahun 1900 dan 2000. Hasil dari pengukuran di beberapa lokasi menunjukan adanya perubahan yang kontras seiring berjalannya waktu. Selain itu pengukuran pada lokasi yang berbeda menunjukan nilai kemagnetan yang berbeda pula. Hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan geologi setempat dan juga sudut inklinasi yang terbentuk oleh permukaan bumi dengan flux medan magnet bumi. Untuk mengantisipasi perubahan dari nilai medan magnet bumi dengan periode tertentu makan dilakukan pembaruan dan penetapan medan magnet bumi setiap 5 tahun sekali yang disebut dengan IGRF (International Geomagnetic Reference Field). Di Indonesia sendiri memiliki nilai IGRF berkisar 45000 nT.

2. Variasi Harian


Variasi harian merupakan medan magnet yang bersumber dari aktivitas matahari atau medan magnet luar. Aktivitas matahari dari keberadaan sunspot akan mempengaruhi besar kecilnya intensitas magnet. Sunspot merupakan titik hitam pada permukaan matahari yang memiliki kosentrasi medan magnet tinggi dan merupakan area yang memiliki suhu rendah disekitarnya. Sunspot ini akan memancarkan medan magnetnya menuju bumi serta akan menimbulkan ionisasi yang menghasilkan perputaran arus listrik sebagai sumber medan magnet. Aktivitas sunspot ini memiliki siklus tersendiri yang disebut dengan Solar Cycle yang terdiri dari fasa maksimun dan fasa minimum. Fasa ini memiliki periode selama 11 tahun. Fasa maksimum dimana aktivitas sunspot sangat reaktif sehingga pengaruh medan magnet luar akan sangat besar sedangkan fasa minimum sebaliknya dimana aktivitas sunspot sedikit atau hampir sama sekali tidak ada.


Gambar diatas menunjukan grafik variasi harian terhadap waktu hasil dari pengukuran di lapangan, berlokasikan di Purworejo, Kaligesing pada tahun 2018. Pengukuran dilakukan selama kurang lebih 7 jam dengan gap 1,5 jam dari pukul 13.00 WIB. Untuk melakukan pengukuran dilakukan dengan cara penentuan satu titik lokasi pengukuran yang jauh daru gangguan (noise) dan melakukan seting pada PPM dengan skala waktu pengukuran dalam detik (15 detik). Dari tabel tersebut jelas terlihat variasi harian memiliki fruktuasi yang stabil sesuai intensitas matahari pada waktu tertentu.

3. Medan Magnet Anomali


Medan magnet anomali merupakan medan magnet yang bersumber dari kemagnetan batuan tergantung oleh induksi dari medan magnet bumi dan susebtibilitas batuan. Induksi medan magnet bumi akan mempengaruhi arah momen ketika terjadinya pembentukan batuan seperti yang dijelaskan pada kurva histerisis. Selain pengaruh dari induksi medan magnet, penentuan momen magnet sendiri tergantung dari tingkat susebtibilitas magnet pada suatu material. 


Susebtibilitas merupakan sifat benda yang mana seberapa besar benda tersebut dapat dimagnetisasi. Susebtibilitas magnet ditentukan dari susunan atom pada material. Atom yang memiliki elektron bebas akan lebih mudah dimagnetisasi karena elektron yang berputar terhadap inti atom akan menyebabkan gaya gerak listirk yang arahnya berbanding terbalik dengan arah rotasi elektron. 


Gaya gerak listrik yang terus bergerak terhadap waktu akan menghasilkan medan magnet di sekitar arah elekrton. Sedangkan jika pada elektron yang berpasangan, kedua elektron tersebut akan berotasi berlawanan arah sehingga arus listrik yang dihasilkan akan saling meniadakan. Sehingga dari pengaruh susunan atom tersebut menentukan arah momen-momen magnet pada suatu benda. Semakin momen magnet memiliki arah yang sama sifat kemgnetannya akan semakin tinggi begitupun sebaliknya. Maka berdasarkn momen magnetnya sifat kemagnetan batuan dibagi menjadi: Diamagnetik, paramagnetik, ferromagnetik, antiferomagnetik, dan ferimagnetik.




Sunday, May 31, 2020

TECTONIC SETTING IN THE SUBDUCTION ZONE

The Indonesia archipelago was formed 300 millions years ago from tectonic activity. Indonesia is located on the border of three main plates namely, Eurasia, India-Australia, and Pacific-Philippine sea.


The geography of Indonesia and the surrounding area shows tectonic boundaries and present volcanic activity. Active volcanoes along archipelago arcs are the result of a series of plate collision activities that form the ring of fire. The red arrows show the vector of subduction plates in some area.

Sumatra Cross Section Schematic (Mobile Oil Corp)

Sumatra arc cross section - trench system is formed by subduction of the oceanic plate (Indian-Australian) under the continental plate (Eurasian). The tectonic system formed is the oblique subduction zone, the Mentawai fault zone, and the large Sumatra fault zone which divides the island of Sumatra from the Semangko bay to Banda Aceh. Continental plates are thick and old consisting of volcanic arcs with Permian, Cretaceous, and Tertiary ages. Magmatic rocks form above the Benioff zone which is mostly marked by silicates and intermediates. The movement of Indian and Australian plates caused the two plates to collide resulting in forearch island and magmatic arc island such as the Mentawai islands.

Java Cross Section Schematic (Mobile Oil Corp.)

In the Java cross section demonstrating that this arc was formed due to subduction of the oceanic plate beneath the continental plate. The continental crust on Java is thinner and has a relatively young age consisting of plutonic volcanic arcs. Magmatic rocks are mostly intermediates type. On the Javanese plateau there are two plate systems that is South China Sea Plate (Eurasia) in the north and the Indian Ocean Plate in the South. The Eurasian Plate has been moving southeast since the oligocene while the Indian Ocean Plate is moving and dipping down the arc systems of the Java and Sumatra island.

The process of forming volcanic arcs (Katili, 1974)

The oblique extension around the subduction zone that is show the mechanical field effects of the tectonic plate. Collisions between oceanic crust sinks beneath the continental crust which causes melting of rock that moves to the surface through fractures becomes magmatic arc. On the Java and Sumatra islands the formation of volcanoes occurred due to the collisions of the Indian Ocean crust with the Eurasian Continent crust. Accretion comes to the surface and becomes an island due to stronger subduction. Beside the formation of volcanoes, tectonic ctivity and geological conditions (volcanology, magmatism, geological structures, etc.) are the main factors as geothermal and porphyry deposits.


Reference
[1] Hall, Robert. 2009. Indonesia Island. Universitas London
[2] Katili, A. John. 1974. Geological environment of the Indonesian mineral deposits:a plate tectonic approach. Geological Survey of Indonesia.
[3] Katili,  A. John. 1974. Volcanism and Plate Tectonics in The Indonesian Island Arc. Elsevier Scientific Publisher Company.

Fauzi & Arif

Monday, May 4, 2020

FIELD OBSERVATION IN THIS COVID-19 VIRUS OUTBREAK


Nowadays, we’ve been fighting against Covid-19  virus Outbreak. As a Geoscientist, this condition makes us difficult to do our specialities like field observation, field trip, data acquisition, or any other fields analysis. But, little did we know that actually, we still can do field observation from our own home, but how is that possible? Yes, by using remote sensing.


Image by DEMNAS


So, What is Remote sensing actually?
Remote Sensing is a method that used to collect information about an object, a region or even a phenomenon by analyzing the data that has been collected by a device without making any direct physical contact with the object, region or phenomenon that is being studied (Lillesand and Kiefer, 1994). The device that is used for collecting data could be aircraft (with or without crew), air balloon, or even satellite. These devices will catch any electromagnetic energy that is reflected by earth’s surface in which its sources are from the sun or  its own satellite. The data that has been processed will come out as satellite imagery. Beside satellite imagery, we also can use geophysics data  from any open sources.

1. Volcanology (USGS.gov.)

Satellite imagery  of distribution Satellite of Volcano cone in Garut 
and Volcano complex in Mt. Dieng

The data of Remote Sensing for Volcanology can give us information about the shape and the distribution of eruption product like a pyroclastic deposition, flow and lava dome by looking at the specific form appeared. Besides that, the data of remote sensing can give us illustration about volcano complex and its eruption history that can be seen by the differences of erosion level, an active volcano with the distribution of pyroclastic and lava flow. 


2. Fold structure in sedimentary rock 


Fold structure in sedimentary rock shows a special appearance that can be seen by satellite imagery. These are the satellite imageries of sedimentary rocks: alluvial (A) Sandstone (B) Shale (C) Bedding of sand-clay  (D) and the slope of bedding plane northwards. 


3. Disaster hazard of mass wasting


In Satellite imagery, the symptom of mass wasting is shown by the specific shape like those that resemble to horseshoe shape, steep slope, vent pattern that parallel to landslide cliff, humidity of lower part of the cliff, the height of topography along the river cliff, etc. Although type of mass wasting can’t be specified just by satellite imagery, initial prediction can be predicted from the form of that mass wasting product. 


4. Seismic activity record (dr. Iris. Edu)


We can know seismic activity in the form of earthquake. dr. Iris. Edu provides seismic data with its occurrence time and its seismic measurement station. These data can be used to know the type of seismic that occurred and also can be used to determine the hypocenter of the earthquake.


5. Gravity (topex.uscd. edu)


Gravity method's data can be accessed freely (open source) from internet by surfing on topex.uscd.edu. Almost all data of earth’s surface region across the world can be accessed on this  website. The data in Topex are basically a regional data. Analysis function in gravity map can be used to determine fault, block, and mitigation.


REFERENCE

[1]. Noor, Djauhari. 2008. Pengantar Geologi. Bogor : Pakuan University Press
[2]. Soetoto. 2015. Penginderaan Jauh Untuk Geologi. Yogyakarta
[3]. Sutanto. 1979. Pengetahuan Dasar Interpretasi Citra. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
[4]. Tides.big.go.id/DEMNAS/index.html diakses pada 18 April 2020
[5]. http://ds.iris.edu/seismon/index.phtml diakses pada 21 April 2020

Fauzi & Irfan

Wednesday, April 15, 2020

4D MICROGRAVITY, TIME LAPSE GRAVITY

Case Study : Geothermal Fluid Flow


The 4D microgravity method, which is the development of the gravity method with its fourth dimension is the time. Characteristic of 4D microgravity is the conscientious repetition of microgravity measurements in the order of µGal, and conscientious height measurements in the order of mm. This method measures the value of changes in the earth's gravity (Sarkowi, 2005).




Processing of 4D microgravity is different from microgravity processing for exploration. The 4D microgravity has no correction because each measurement point will be reduced with the previous measurement, in this case the measurement that been conducted in year before. This reduction causes any correction will be mutually subtracted (F D. Haq, 2019).




The map can tells the density has been changes in some periods that could occurs because of the production and re-injection activity on the surface on geothermal field. On the Delta Gobs Map (Gobs Map 2002 – Gobs Map 2008) there is a negative value which is drawn in blue to orange, indicating a decrease in the value of gravity from 2002 to 2008 which means the fluid has decreased or moved. While positive values are depicted in red and purple this indicates an increase in the gravity value, so it is interpreted that there is an increase in the volume of geothermal fluid in the area.



The result of 4D microgravity measurement can be used to estimate mass changes that occurs beneath the surface. The mass changes estimation can be calculate by inversion method. The inversion method is a backward modelling method by providing inputs of the initial model and certain parameters (Grandis 2009). The calculation results of the mass changes estimation can using the Gaus’s Flux Method which is need the amount of cube volume to cover the anomaly.   




REFERENCES 


[1]. F D Haq dkk. 2019. Production and Reinjection Evaluation on The Basic of 3D Time-Lapse Microgravity Inversion. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 
[2]. Grandis, Hendra. 2009. Introduction to Geophysical Inversion Modeling. Jakarta: Indonesian Geophysics Expert Association (HAGI). 
[3]. Saibi, Hakim. 2017. Microgravity and Its Applications in Geosciences. Intechopen. 
[4]. Sarkowi, Muh. 2005. Survey Gayaberat Mikro 4D Untuk Monitoring Dinamika Air Tanah. Jurnal Sains dan Teknologi, Desember 2005, Vol 11, No. 3.

Fauzi & Thomas